Makalah Hadist Mutawatir
Hadist
adalah berita yang datang dari Nabi SAW, sedangkan makna pertama dalam konteks
teologis bukan konteks ilmu hadist. Menurut Abu Al-Baqa’, hadist adalah kata
benda (isim) dari kata at-tahdist yang diartikan ak-ikhbar
(pemberitauan), kemudian menjadi nama suatu perkataan, perbuatan, dan
persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pemberitaan, yang
merupakan makna dari kata hadist sudah dikenal orang Arab seja jahiliyah, yaitu
untuk menunjuk hari-hari yang populer dengan nama al-ahadist.[1] Dalam
hal ini hadist dapat dilihat dari segi kuantitas dan dari segi kualitasnya.
Ulama
berbeda pendapat tentang pembaian hadist ditinjau dari segi kuantitas. Tinjauan
dari segi kuantitas di sini adala dengan menelusuri jumla para perawi yang
menjadi sumber adanya suatu hadist. Para ahli ada yang mengelompokkan menjai
tiga baian, yakni hadist mutawatir, masyur dan ahad, dan ada juga
yang membainya hanya menjadi dua, yakni hadist mutawatir dan ahad.[2]
Pendapat
pertama, yang menjadikan hadist masyur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian
dari hadist ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, di antaranya adalah Abu
Bakar Al-jassas (305-370 H). Sedang ulama golongan keduan diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadist masyur bukan
merupakan hadist yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadist
ahad. Mereka membai hadist menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
arti hadist dan pembagian dari hadist mutawatir ?
2.
Apa
arti hadist dan pembagian dari hadist ahad ?
3.
Apa
arti hadist dan pembagian dari hadist masyur ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui arti dan pembagian dari Hadist Mutawatir.
2.
Untuk
mengetahui arti dan pembagian dari Hadist Ahad.
3.
Untuk
mengetahui arti dan pembagian dari Hadist Masyur.
D.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadist Mutawatir
1.
Pengertian Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir adalah hadist yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas jumlanya, mulai dari awal
sanad sampai akhir sanad.[3] Secara
bahasa dan istilah hadist muawatir
adalah sebagai berikut.
لغة : هو اسم
فاعل مثتق من التواتر اي التتابع
واصطلاجا : ما
رواه عددكثير تحيل العادة تواطؤهم على الكذب.
Secara bahasa kata “mutawatir”
berbentuk isim fa’il musytaq [4]kata “tawatur”
yang bermakna “berturut-turut atau berurutan”. Sedangkan secara istilah, hadist
mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat
kebiasaan. [5]Hanya
saja, para ulama hadist berbeda pendapat mengenai jumlah periwayat hadist
mutawatir. Pendapat mereka bervariasi dari empat, lima, sepuluh, dua belas, dua
pula, hingga empat puluh, tujuh puluh, dan bahkan tiga ratus tiga belas
periwayat laki-laki dan dua orang perempuan. Semua pendapat ini sebenarnya
didasarkan pada ayat Al-Qur’an, namun seluruhnya tidak berdasakan ayat
kandungannya (sharih ad-dalalah). [6]Oleh
karena itu, ibn Hajar berpendapat bahwa definisi mengenai hadist mutawatir
tidak perlu disertai dengan ketentuan mengenai jumlah periwaytnya.[7]
Sebenarnya hadist menurut istilah
selain di atas terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut :
مَا رَوَهُ
جَمْعٌ تُحِيْلُ العَادَةُ تَوَاطُؤُهم عَلَى الكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِم مِن أَوَّلِ
السنَدِ إلى مُنتَهَاهُ
“hadist yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang besar orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad,
pada setiap tingkat (Thabaqat)”.[8]
Sementara Nur ad-Din Atar
mendefinisikan
الذِيْ رَوَاهُ
جَمْعٌ كَثِيْرٌ لاَ يُمْكِنُ تَوَاطُؤُهُمْ على الكَذِبِ عن مثْلهِمْ إِلى
انتِهَاءِ السَنَدِ وَ كَانَ مُستَنَدُ هُمْ الحِسذُ .
“Hadist yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta
(sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indera”.[9]
Definisi di atas menunjukan bahwa
hadist mutawatir adalah hadist yang diriwaytkan oleh periwayat yang banyak pada
setiap tingkatan atau setiap generasi sanadnya yang menurut adat kebiasaan
tidak mungkin mereka sepakat berdusta untuk membuat hadist yang besangkutan.
Imam Nawawi [10]mendefinisikan
hadist mutawtir dengan :
ما
نقله من يحصل العلم بصدقهم ضرورة عن مثلهم من أوله الى آخره
“hadist yang
diriwayatkan oleh (sejumlah) periwayat dari periwayat yang sama keaadaanya
dengan mereka mulai dari awal sanadnya dengan mereka mulai dari awal sanadnya
sampai akhir sanadnya, yang memberikan ilmu (keyakinan) secara pasti bahwa yang
mereka sampaikan adalah benar”.
Definisi yang lebih lengkap
dikemukakan oleh Muhammad ‘ajjaj al-Khathib[11], yaitu:
ما رواه جمع
تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند الى منتهاه على أن لا يختل
هذا الجمع في اي طبقط من طبقة من طبقات السند
“hadist yang diriwaytkan
oleh sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka
sepakat berdusta (tentang hadist yang diriwayatkan), (yang diterimannya) dari
sejumlah periwayat yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir
dengan syarat jumlah tersebut tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya”.
Berdasarkan beberapa definisi di
atas dapat diketahui bahwa hadist mutawatir merupakan hadist yang diriwayatkan
oleh sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil (tidak mungkin)
mereka sepakat berdusta. Hadist ini diriwayatkan oleh banyak periwayat pada
awal, tengah , sampai akhir sanad. Sandaran beritanya didasarkan kepada
pancaindera, seperti disaksikan (dilihat) maupun didengar.[12]
2.
Syart-syarat Hadist Mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadist mutawatir ini, yang terlebih dahulu
merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli hadist tidak begitu banyak
merinci pembahasan tentang hadist mutawatir dan syarat-syaratnya
tersebut.karena menurut ulama ahli hadist, khabar Mutawatir [13]yang
sedemikian sifatnya, tidak termasuk ke dalam pembahasan ‘ilmu Al-isnad[14], yaitu
sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang shahih atau tidaknya suatu
hadist, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijalnya
yakni para pihak yang banyak berkempung dalam periwayatan hadist, dan tata cara
penyampaian. Padahal dalam kaian hadist mutawatir tidak dibicarakan
masalah-masalah tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya sebaai hadist
mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak
boleh ada keraguan.
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin[15], ahli
ushul, suatu hadist dapat ditetapkan sebagai Hadist Mutawatir, bila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadist Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang menerapkan
jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu. Menurut ulama
yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu,
menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberikan dan
mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang di perlukan dalam
hadist Mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT:
يَأَيُهَا
النَّبِيُّ حَسبكَ ا لله وَ مَنِ اتَّبَعَكَ من المُؤْمنيْنَ (الأنفال/ 8 : 64)
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu.
(QS. Al-Anfal (8) : 64)
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat islam baru mencapai 40 orang.
Hal ini sesuai dengan hadist riwayat AL-Thabrary dan ibn ‘Abbas, ia berkata:
“telah masuk Islam bersama Rasullulah sebanyak 33 laki-lai dan 6 orang
perempuan. Kemudian Umar masuk islam, maka jadilah 40 orang.
Penentuan
jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebetulnya bukan
merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk
menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah Hadist Mutawatir tersebut bukan
terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya ilmu dharuri[16].
Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni 5
orang). Asalkan telah memberikan keyakinan berita yang mereka sampaikan itu
bukan kebohongan, sudah dapat di masukkan sebaai hadist mutawatir.
b.
Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama dengan
Thabaqat Berikutnya
Jumlah perawi hadist mutawatir, antara Thabaqat (lapisan atau
tingkatan) dengan thobaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu
hadist diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh
sepuluh tabi’in, [17]dan
selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai
hadist mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama
dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah
perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlallu penting. Sebab yang diinginkan
dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.
Sedangkan Rajaa Musta Khazin san Sa’diyah Ahmad Fuad mengatakan
bahwa hadist Mutawatir tidak akan terealisir dengan empat syarat yaitu:
1.
أن يرويه عدد
كثير
2.
أن توجد هذه
الكثرة في جميع طبقات السند
3.
أن تحيل العادة
اتفا قهم على الكذب
4.
أن يكون مستند
حد يثمهم الحسن كقولهم : سمعنا أو رأين أو لمسنا أو نحو ذلك
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu hadist bisa mencapai derajat
Mutawatir jika syarat-syarat itu terpenuhi.[18]
c.
Berdasarkan Tanggapan Pancaindera
Berita yang disampaikan oleh periwatnya tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindera. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-benar
hasil pendengaran atau penglihatnnya sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain
ataupun hasil istinbat [19]dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis Mutawatir, misalnya berita
tentang alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak
itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadist Mutawatir.
Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasil pemikiran pada
filosof , tidak dapat digolongkan sebagai hadist mutawatir.
Jumlah hadist mutawatir jika dibandingkan dengan jumlah hadist
secara keseluruhan sangat sedikit. Hadist-hadist jenis ini dapat diketahui
melalui kitab-kitab seperti: al-ahzar al-mutanatsir fi Akhbar al-mutanawirah[20], karya
As-Suyuthi. Qathf al-azhar, karya As-suyuthi, dan Nazm al-mutanatsir
min al-hadist al-mutawatir, karya Muhammad ibn Ja’far al-Khattani.[21]
3.
Pembagian Hadist Mutawatir
Menurut sebagian ulama. Hadist mutawatir itu terbagi menjadi dua,
yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang
membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadist mutawatir ‘amali.
a.
Mutawatir Lafdzi
Hadist mutawatir lafdzi adalah
hadist yang mutawatir lafaz dan maknanya (ما
تواتر
لفظه و معناه ) . [22]
Menurut
Muhammad Ajjaj al-khathib, hadist mutawatir lafzi adalah :
ما رواه بلفظه
جمع عن لا يتوهم تواطؤهم على الكذب من أوله الى آخره
“hadist yang
diriwayatkan secara lafadz oleh sejumlah orang periwayat dari sejumlah
periwayat yang lain, yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta, dari awal
sampai akhir sanad”.
Berhubung
hadist mutawatir lafzi mensyaratkan :
1.
Matan
hadist yang diriwayatkan menggunakan redaksi[23] yang
sama
2.
Periwayat
yang meriwayatkan hadist sejak awal sampai akhir sanad harus banyak, maka hadist
mutawatir lafzi ini tidak banyak jumlahnya.
Contoh hadist Mutawatir lafdzi adalah
مَنْ كَذبَ عَلى
مُتَعَمِدًا فَلْيَتَبَوأ مَقْعَدَهُ مِنَ النارِ[24]
“Barangsiapa yang berbuat dusta kepadaku dengan sengaja
hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
Hadist tersebut diriwayatkan oleh
segolongan banyak sahabat. Menurut sebagian yang hafal hadist, hadist tersebut
diriwayahkan dari Nabi saw oleh enam puluh dua sahabat, dan di antara mereka
terdapat sepuluh orang sahabat[25] yang
sudah diakui Nabi saw masuk surga. Menurut Ibnu AL-Shalah, bahwa hadist
mutawatir ladzi itu langka. Menurut sebagian yang lain menyatakan, hadist ini
diriwayatkan oleh hampir dua ratus sahabat. Ibrahim Al-Harabi dan Abu Bakar
Al-bazari mengatakan, hadist ini diriwayatkan oleh empat puluh sahabat.[26] Abu
Al-qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadist ini diriwayatkan oleh lebih dari
delapan puluh orang. Ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh seratus
sahabat.
Contoh lain adalah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam ahmad dan Al-Tirmidzi:
قال يَا
مُحَمَّدُ إِنَّ القُرْآنَ أُنْزِلَ على سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
“ Al-Qur’an diturunkan
atas tujuh huruf (tujuh macam bacaan)” .
Hadist ini diriwayatkan oleh dua
puluh tujuh sahabat.[27]
Contoh hadist mutawatir lafdzi yang
populer – meski menurut beberapa informasi bahwa hadist tersebut sebenarnya
tidak benar-benar sama redaksinya – adalah hadist tentang ancaman Rasulullah
terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama beliau, sebagai berikut:[28]
حَدَّشَا
عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أخْبَرَنَا خَالِدٌ ح و حَدَّشَا مُسَدَّدٌ حَدَّشا خَالِدٌ
المَعْنَى عن بَيَانِ بنِ بشْر قال مسدَّدٌ أَبُو بشرٍ عن و برةُ بن عَبدِ
الرَّحْمنِ عنْ عامِرِ بن عبدِ الله بنِ الزُّبَيْرِ عن أَبيه قال قُلْتُ
للزُّبَيرِ ما يَمْعُكِ أن تُحَدِثَ عن رَسولِ الله صلى الله عليه وسلم كما
يُحَدِّثُ عَنهُ أَصحابُهُ فَقَالَ أَما واللهِ لقد كان لي منهُ وجهُ ومنزِلةٌ و
لكنِّي سمعته يقولُ من كَذبَ عليَّ مُتَعَمِّدٌ فليتوَّأْ مقْعَدَهُ من النارِ (
ابو داود )
b. mutawatir
ma’nawi
hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist mutawatir yang maknanya sama
akan tetapi radaksinya berbeda. Muhammad ‘ajjal al-khattib mendefinisikan
hadist mutawatir ma’nawi dengan :
ما اتفق نقلنه
على معناه من غير مطابقة في اللفظ
“
hadist yang periwatannya disepakati maknannya, tetapi tidak sesuai pada lafadznya.”
Al-Suyuthi [29]mendefinisikan
hadist mutawatir ma’nawi dengan:
أن ينقل جماعة
يستحيل تواطؤهم على الكذب و قائع مختلفة تشترك في أمر معين
“hadist yang
diriwayatkan oleh periwayat yang banyak yang mustahil mereka sepakat untuk
berdusta atas beberapa peristiwa dalam berbagai bentuk, namun bertemu pada
permasalahan yang sama.”
Misalnya, seseorang meriwayatkan, bahwa Hatim umpamanya memberikan
seekor unta kepada seorang laki-lai. Sementara yang lain meriwayatkan, bahwa
Hatim memberi dinar kepada seorang laki-lai, dan demikian seterusnya.
Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat memahami, bahwa Hatim
adalah seorang pemurah. Sifatnya pemurah Hatim ini kita pahami melalui jalan khabbar
mutawatir ma’nawi.
Contoh hadist mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadist yang
meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Mengangkat tangannya ketika berdo’a.[30]
قال أَبُو
مُوسَى الأَشْعَرِيُّ دَعا النبيُّ صلى الله عليه وسلمَ ثم رَفَعَ يَدَيهِ
وَرَأيْتُ بَيَاض إِبْطَيْهِ (رواه البخاري)
“Abu Musa al-Asy’ari[31]
berkata: Nabi SAW, berdoa kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku
melihat putih-putih kedua ketiaknya.”[32]
Hadist semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW berjumlah sekitar
seratus hadist dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan,
yakni keadaan Nabi SAW mengangkat saat berdo’a. Dalam bentuk lain di jumpai
susunannya sebagai berikut:
كن يرفع يديه
حذو منكبيه
“
Rasulullah Saw. Mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundak beliau.”
Imam Al-suyuti mengatakan, bahwa hadist-hadist ini telah dihimpun
dalam satu juz namun dalam pembahasan masalah yang berbeda-beda. Setiap masalah
secara kuantitatif [33]tidak
mencapai tingkat mutawatir, namun dari yang tersirat dalam setiap hadist-hadist
tersebut (Nabi Saw mengangkat kedua tangannya sewaktu berdoa) ditinjau dari
sisi terhimpunnya hadist-hadist, hal itu bisa mencapai tingkat mutawatir
maknawi.
c.
Mutawatir Amali
Adapun yang
dimaksud dengan hadist mtawatir ‘amali adalah:
مَا عُلِمَ مِنَ
الذين بِالضرُوْرَةِ وَتَواتُرُبَيْنَ المُسْلِميْنَ أَنْ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَ بِهِ أَو غيرَ ذَلِكَ وَهُوَالذِي يَنْطَبِقُ عليه
تَعْرِفُ الإِجْماعِ إنْطباقًا صَحِيْحًا .
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW mengerjakan,
menyuruhnya, atau selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’[34].
Hadist mutawatir amali adalah hadist tentang qath’i al wurud [35]pasti
bersumber dari Nabi Saw, kemudian diikuti oleh para sahabat secara keseluruhan,
lalu oleh para tabi’in, dan oleh generasi demi generasi sampai sekarang.
Seperti hadist-hadist tentang waktu-waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat,
dan tentang pelaksanaan shalat jenazah.
Contoh hadist mutawati’amali:
عَنْ عبدِ الله
بْن عَمْرِوٍ رضي الله عنهما أنَّ نَبِيَّ الله صلى الله عليه وسلم قال : (وَقْتُ
الظُّهْرِ إذ زَلثَ الشَّمْسُ وَكان ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلهِ ما لم يَخْضُرْ
العَصْرُ ووقتُ العَصْرِ ما لم تصفرَّ الشَّمءسُ ووقت صلاةِ المَغْرِبِ ما لم يغرب
الشَّفَقُ ووقتُ صلاةِ العِشاءِ إلى نصف الليلِ الأوْسَطِ ووقتُ صلاةِ الصبْحِ من
طلوعِ الفجرِ ما لم تَطْلُعْ الشَّمْسُ (رواه مسلمٌ)
Dari Abdulla
Ibn Amr Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “waktu sholat dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke
barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu ashar belum
tiba, waktu ashar masuk selama matahri belum mengkuning, waktu magrib selama
awan merah belum menghilang, waktu shalat isya’ hingga tengah malam dan waktu
shalat shubuh semenja terbitnya fajar hungga matahari belum terbit.” Riwayat
Muslim”
B.
Hadist Ahad
1.
Pengertian Ahad
Terdapat definisi etimologis tentang
hadist ahad, baik secara bahasa maupun istilah. Pengertian hadist ahad menurut
bahasa dan istilah adalah sebagai berikut :
خبر الأحاد لغة
: الأحاد جمع أحد يمعنى الواحد و خبر الواحد و خبر الواحد هو ما يروين شخص واحد.
“Secara bahasa, kata “ahad”
merupakan bentuk plural[37]
dari kata “ahad” yang bermakna satu, sedangkan khabbar “ahad” adalah khabbar
yang diriwayatkan oleh satu orang”.
و إصطلاحا : هو
مالم يجمع شروط المتواتر.
“Secara istilah haist ahad adalah
hadist yang tida memenuhi syarat-syarat hadist mutawatir”.[38]
Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut
baasa al-wahid atau satu. Dengan demikian Khabbar wahid adalah suatu berita
yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan yang dimaksud dengan
hadist ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain
sebagai berikut:
مَالَمْ
تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فى الكَثْرَةِ مَبْلَغَ الخَبَرِ المتَوترْ سَوَاءٌ كَانَ
المُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اثنَيْنِ أَوْ ثَلاثَا أو أَرْبَعَةً أَوْ خَمْسَةَ اَو
إِلى غيْرِ ذَلك من الأعدادِ التي لا تَشْعُرُ بِأَن الخبَرَ دخل بها في خَبَرِ
المتواترِ .[39]
“Khabbar yang jumlah
perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadist mutawatir, baik perawi
itu satu, dua tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah hadist
mutawatir”.
Ada juga ulama yang mendefinisikan
hadist ahad secara singkat, yakni hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadist muatawatir. Hadist selain hadist mutawatir, atau hadist yang sanadnya
sah [40]dan
bersambung hingga sampai kepada sumber nya (nabi) tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni [41]dan
tidak tidak smapai kepada qath’i dan yakin.
Dari beberapa definisi di atas,
jelas bahwa di samping jumlah perawi hadist ahad tidak sampai kepada jumlah
perawi hadist mutawatir, kandungannya pun bersifat zhanni dan tidak bersifat
qath’i.
Kecenderungan para ulama
mendefinisikan hadist ahad seperti tersebut di atas, karena dilihat dari jumlah perawinya ini, hadist ini menjadi dua,
yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad. Pengertian ini berbeda dengan
pengertian hadist ahad menurut ulama yang membedakan hadist menjadi tiga, yaitu
hadist mutawatir, masyur dan ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir
ini) bahwa yang disebut dengan hadist ahad adalah :
مَرَوَاهُ
الوَاحدُ أَو الإثنانِ فأكْثَرَ مما لم تتوا فر فيهِ شُرُؤْطُ المَشْهُوْرِ اَو
متواترِ .
“Hadist yang
diriwayatkan oleh satu orang atau lebih, yang jumlanya tidak memenuhi
persyaratan hadist masyur dan hadist mutawatir”.
Muhammad Abu Zahrah [42]mendefinisikan
sebagai berikut:
كُلُّ خَبَرٍ
يَرْوِيْهِ الواحدُ أَو الإسنان او الأكثر عن الرَّسوْلِ صلى الله وسلم و لا
يتوافرُ فيه شُرُوْطُ المشَهْرُوْرِ .
“Tiap-tiap khabar yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari Rosullulah SAW dan
tidak memenuhi persyaratan hadist Masyur”.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa
hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah
orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadist mutawatir.
Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi
terakhir”.
Jumhur ulama’ [43]sepakat
bahwa beramal dengan hadist ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul [44]hukumnya
wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’i dan imam Ahmad memakai hadist ahad bila
syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi. Hanya saja abu Hanifah [45]menetapkan
syarat tsiqqah [46]dan
adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadist yang diriwayatkan.
Oleh karena itu, hadist yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena
jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya harus dicampur
dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinnya yakni Abu Hurairah,
tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi
hadist ahad tidak sampai menyalahi amalan ahli madinah.[47]
Sedangkan golongan Qodariyah[48],
Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadist
ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba’i dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak
waib berama kecuali berdasarkan hadist yang di riwayatkan oleh dua orang yang
diterima dari dua orang.
Sementara yang lain mengatakan tidak
waib beramal kecuali hadist yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan
oleh empat orang pula.
Untuk menjawa golongan yang tidak
memakai hadist ahad sebagai dasar beramal. Ibnu AL-Qayim mengatakan: “ada tiga
segi keterkaitan sunnah dengan alqur’an yaitu: Pertama, kesesuaian
terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-qur’an., Kedua,
menjelaskan maksud al-Qur’an, Ketiga, menetapkan hukum yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang
ditetapkan oleh Rasullullah yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang
menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadist ahad adalah al-Qu’an, Sunnah dan
ijma’.
Hadist ahad yang dijadikan dasar
beramal adalah adalah yang memenuhi syarat, yang dikenal sebagai hadist shahih,
lebih dari dua puluh alasan dikemukakan oleh Musthafa al-Siba’i bahwa hadist
Ahad diperlukan sebagai dasar syari’at Islam. Antara lain:
1.
Diriwayatkan
oleh Imam Malik [49]dari
Ishaq ibn Abi Thalhah dari Anas ibn Malik yang mengatakan, “ Aku perna memberi
Abu Thalhah, Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah dan Ubai ibn Ka’b minumandari perasan
anggur dan kurma, “ kemudian seseorang datang dan berkata, “sesungguhnya Khamar
itu telah diharamkan.” Maka Abu Thalhah berkata, “Hai Anas, buanglah dan ambil
botol itu, dan pecahkan!” Kemudian minuman itu dibuang dan botol pun
dipecahkan.
Sebelum datang
larangan ini. Masyarakat memahami bawa minuman keras itu boleh diminum.
Beberapa orang yang disebut di dalam riwayat ini termasuk yang berpengetahuan
seperti ini. Kedatangan seseorang dengan sebuah berita membuat mereka
mempercayai berita tersebut, kendati diriiwayatkan secara Ahad.
2.
Hukuman
potong tangan dapat dijatuhkan kepada pencuri yang mencuri harta genap satu
nishab apabila dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi
terpercaya. Kesaksian dua orang saksi juga menggambarkan bahwa sebenarnya
riwayat (kesaksian) mereka termasuk berita Ahad juga.[50]
Jumlah rawi dari masing-masing
thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebuh banyak,
namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah
masing-masing rawi, hadist ahad ini dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu masyur
di dalam hadist masyur terdapat hadist aziz dan hadist
gharib.
a.
Hadist Masyur
1)
Pengertian Hadist masyur
Menurut bahasa,
masyur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. [51]Adapun
menurut istilah, hadist masyur adalah:
مَا
رَوَاهُ ثَلاثةٌ فأكثر في كلِ طبقَةٍ ما لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَوَاتُرِ .
“Hadist yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir”.
Secara istilah, hadist masyur adala hadist yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya haist masyur ini tidak
semuanya berkualitas shaih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu
menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad
ataupun matannya shaih. Dengan demikian haist masyur dapat dikelompokkan kepada
yang berkualitas shahih, hasan dan dhaif.
Contoh hadist Masyur Shahih, seperti hadist Ibnu ‘Umar
اذا
جَاء أحدُكُم الجمُعَةَ فليَغْتَسلُ (رواه البخارى)
“Bagi
siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. [52]
Contoh lain adalah ‘Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash mendengar langsung
Rasul SAW bersabda:
إن
الله لا يَقْبِضُ العلم َ إنتِزاعًا يَنتَزِعُهُ مِن العِبادِ ولكن يَقبِضُ العلمَ
بِقبضِ العلماءِ حتى إذا لم يُبقِ عالِمًا اتخَذَ الناسُ رُحوْسًا جُهَّالا
فَسُئلُوا فأفتَوْا بغَيْرِ علمٍ فضلُّوا و أَضلُّوا (رواه البخارى)
“sesungguhnya Allah SWT tidak mencabut ilmu pengetauan, langasung
mencabutnya dari hambanya, akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut
ulama’, sehingga apabila tiada seorang alim tertinggal, para manusia menjadikan
pemimpin mereka orang-orang yang jahil. Mereka (para pemimpin) ditanya
soal-soal agama dan mereka meberikan fatwa dengan tanpa berdasarkan pada ilmu.
Karenanya mereka sesat dan menyesatkan”. (H.R.
Bukhari[53])
Sedangkan yang dimaksud dengan hadist masyur hasan[54] adalah
hadist yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadist hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.
لا
ضرَرَ وَ لا ضِرارَ
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang
lain)”.
Adapun yang dimaksud dengan hadist masyur dha’if adalah
hadist masyur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadist shahih dan hasan, baik
pada sanad maupun ada matannya, seperti hadist:
طلبُ
العلمِ فَرِضَةٌ على كلِّ و مسلمَةٍ
“Menurut ilmu wajib bai muslim laki-laki dan perempuan”.
2)
Klasifikasi hadist masyur
Istilah masyur yang diterapkan pada suatu hadist kadang
bukan untuk memberikan sifat-sifat hadist menurut ketetapan di atas, yakni
banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu
hadist, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadist yang
mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat
ramai. Dari tujuan inilah meneybabkan ada suatu hadist bila dilihat dari
bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadist masyur, tetapi bila
dilihat dari kepopulerannya tergolong hadist masyur.
Dari segi inilah, hadist masyur dapat digolongkan kepada:
a.
Masyur dikalangan para muhaditsin[55] dan
lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum, seperti hadist:
عن
عَبْدِ الله بن عمْرٍو رضي الله عنهما عنِ النبيِّ صلى الله عليه و سلم قال :
المسلِمُ مَن سَلمَ المسلمُونَ مِن لِسانهِ و يَدِهِ . (رواه البخاري و مسلم)
“Seorang muslim adalah
orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan
tangannya”. (H.R. Bukhori dan Muslim)[56]
عن
أنس رضي الله عنه قال قنت النبي صلى الله عليه و سلم بعد الركوع شهرا على يَدْعو
على رِعلٍ وَ ذَكْوَانَ (رواه البخاري)
b.
Masyur
di kalangan ahli ilmu, misalnya masyur di kalangan ahli fiqh
Contoh hadist
yang termasyur di kalangan ulama ushul fiqh
رُفِعَ
عن أُمَّتي الخطاءُ والنسيانُ و ما السْتُكْرِهُوْا
“Terangkanlah (dosa) dari
umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa”. (H.R. At-Thabrani dari ibnu Abbas)
c.
Masyur
di kalangan masyarakat umum, seperti hadist:
لِلسَّاءِلُ
حقٌّ وَ إِنْ جَاءَ عَلى فَرَسٍ (رواه أحمد و النسائ أب هريرة)
Bagi si
peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda. (H.R Ahmad dan Nasa’i)[58]
العجلة
من الشيطان (رواه الترمذى و حسنه)
d.
Hadist
masyur di kalangan fuqaha’
ابن
عُمَر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال أبغَضُ الحلالِ إلى الله لى الطلاقُ (رواه
ابو داود)
e.
Hadist
masyur di kalangan ahli bahasa arab
عن
عمر قال : نعم العبد صهيب لو لم يخف الله لم يعصه
f.
Hadist
masyur di kalangan ahli pendidikan
ادبني
ربي فاحسن تأديبى
g. Hadist masyur di kalangan ahli sufi
كُنتُ
كنزا مَخفِيا فأحْببْتُ ان أَعرَفَ فَخلقتُ الخلق فَبِي عَرفوْنى
“Aku pada mulanya adalah
harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin di kenal, maka kuciptakan mahkluk
dan melalui aku merekapun kenal pada ku”.
Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan
hadist masyur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala
Al-Alsinah karya As-Shakawi, Kasyf Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fi Ma
Isytahara min Al-Hadist ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadist karya Ibnu Daiba’
As-Syaibani.
b.
Hadist Ghair Masyur
Hadist Ghair
Masyur ini oleh ulama ahli hadist di golongkan menjadi ‘aziz dan gharib.
a)
Hadist ‘Aziz
Aziz menurut bahasa adalah
Asy-Safied (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bulLadzi
yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar di peroleh), dan Al-Qowiya (yang kuat).[59]
Adapun menurut istilah, hadist aziz
adalah:
مارواه
إثنان و لو كان في طبقةٍ واحدةٍ , ثم رواه بعد ذلك جماعةً.
“hadist yang diriwayatkan
oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqoh
saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya”.
Berikut Hadist ‘Aziz pada Thabaqah
pertama:
نحنُ
تلأحرون السَّابقون يوم القيامةِ . (رواه أحمد و النسائ)
“Kami adalah orang-orang terakhir di
dunia yang terdahulu pada gari kiamat”. (H.R Ahmad dan An-Nasa’i)
Hadist tersebut diriwayatkan oleh
dua orang sahabat (thabaqah) pertama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu
Hurairah. Hadist tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi Masyur sebab
periwayatnya Abu Hurairah, hadist diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu
Salamah, Abu Hazim, Thawuz, Al-‘Araj, Abu Shahih, Human, dan ‘Abd Ar-Rahman.
Contoh hadist ‘Aziz pada Thabaqad
kedua, yaitu:
لا
يئمنُ أحدُ حتَّى أكون أحبَّ إليه مِن نفسهِ مِن وَلِدهِ والناسِ أجمعينَ (متفق
عليه)
”Tidak sempurna iman seseorang
darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuannya,
anak-anaknya, dan manusia seluruhnya”. (Mutafaq’alaih)[60]
Hadist tersebut diterima oleh Anas
bin Malik [61](thabaqah
pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan’Abd. Al-‘Aziz (Thabaqah
kedua). Dari Qotadah diterima oleh Husein Al-Mu’allim dan Syu’bah, sedangkan
dari ‘Abd. Al-‘Aziz diriwayatkan oleh ‘Abd Al-Warist dan Ismail ibn Ulaiyah (Thabaqad
ketiga). Pada Thabaqah keempat, Hadist itu diterima masing-masing oleh
Yahya ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah, Zuhair ibn Harb dari Ismail,
dan Syaiban Ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al-Warits.
b)
Hadist Gharib
Gharib menurut bahasa adalah
1)
Ba’idun
‘anil wathani (yang jauh dari tanah),
2)
Kalimat
yang sukar di pahami.
Adapun menurut istilah hadist Gharib
adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
Dalam pengertian lain, hadist gharib
adalah hadist yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan, di mana saja penyendiriannya itu terjadi.[62]
Penyendirian rawi dalam meriwayatkan
hadist itu dapat mengenai orangnya, yakni tidak ada orang lain yang
meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keaadaan
rawi. Artinya sifat atau keaadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keaadaan
rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadist tersebut.
Contoh hadist gharib:
عن
أبي هريرةَ رضي الله عنه عن النَّبي صلى الله عليه و سلم فال : الإيمانُ بِضْعٌ و
ستُّوْن شُعبَةً و الحياءُ شُعبَةً مِن الإيمانِ (رواه البخارى)
Dari Abu Hurairah r,a. Dari Nabi
SAW. Telah bersabda, “Iman itu bercabang-cabang menjado 60 cabang dan malu itu
salah satu cabang dari iman”. (H.R. Bukhori)
Penyendirian perawi dalam hadist gharib
dapat terjadi pada Tabi’in saja, Tabi’al tabi’in [63]atau
seluruh perawi pada tiap-tiap thabaqad.
Contoh hadist gharib mutlak antara
lain:
الولاءُ
لحمَةٌ ملَحْمَةِ النَّسَبِ لا يُبَاعُ و لا يُوهَبُ
“kekerabatan dengan jalan
memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan
tidak boleh di hibahkan”.
Hadist ini diterima dari Nabi oleh
Ibnu Umar dan dari Ibn Umar hanya Abdullah ibn Dinar saja yang meriwayatkannya.
Abdullah ibn Dinar adalah seorang tabi’in yang dapat dipercaya.
Sedangkan hadist gharib yang
tergolong pada gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu menegnal sifat atau
keaadaan tertentu dari seorang rawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini,
bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai
tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadist gharib nisbi berkenaan
dengan ketsiqqahan perawi antara lain adalah:
كان
يَقْراُ به رسولى الله صلى عليه و سلمَ في الأضْحى و الفطْر بِق و القرآنِ المجيدِ
و اقترَبَتِ السَّاعَةُ وانشَقَّ القمرُ (رواه مسلم)
“Konon Rasulullah pada
hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf dan surat al-Qomar”.
(H.R. Muslim)
Hadist tersebut diriwayatkan melalui
dua jaur, yakni jalur Muslim terdapat rentetan sanad: Muslim, Malik, Dumrah bin
Sa’id, ‘Ubaidillah, dan Abu Laqid Al—Laisi yang menerima langsung dari
Rasulullah. Sementara itu melaui jalur Al-Laqid Al-Lahi’ah , Khalid bin Yazid,
‘Urwah, ‘Aisyah yang langsung menerima dari nabi.
Pada rentetan sanad yang pertama,
Dumrah bin Sa’id Al-Muzani disifati sebagai seorang muslim yang tsiqqah. Tidak
seorang pun dari rawi-rawi tsiqqah yang meriwayatkannya selain diri sendiri. Ia
sendiri yang meriwayatkan hadist tersebut dari Ubaidillah dari Abu Waqid
Al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri tentang ketsiqqah-annya. Sementara melaui
jalur kedua, ibn Lahi’ah yang meriwayatkan hadist tersebut dari Khalid bin
Yazid dari Urwah dari Urwah dari ‘Aisyah. Ibn Lahi’ah disifati sebagai seorang
rawi yang lemah.[64]
Contoh hadist gharib nisbi yang
berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu, antara lain adalah:
اُمرنا
أنا أن نقْرَأَ بِفاتحةِ الكتابِ و ما تَيَسرَ (رواه ابو داود)
“Kami diperintahkan (oleh
Rasul SAW) agar membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah (dari al-Qur’an)”. (H.R. Abu Daud)[65]
Hadist ini diriwayatkan oleh Abu
Daud dengan sand Abu Al-Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, dan
Sa’id semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkan dari
kota-kota lain.
Selain pembagian hadist gharib
seperti seperti tersebut di atas, para ulama juga, membagi dua golongan, yakni
gharib pada sanadnya dan matan, gharib pada sanad saja. Pembvagian hadist
gharib menjadi dua bagian ini bila ditinjau dari segi letak kegharibannya.
Yang dimaksud dengan gharib pada
sanad dan matan adalah hadist yang hanya diriwayatkan melaui satu jalur,
seperti sabda Rasulullah SAW.
كلمتان
خفيفتان على السانِ ثقِيْلَتَانِ في المِيزانِ حبيبتانِ إلى الرحمنِ سبحان الله
العظيمِ سبحان الله و بِحمدِهِ (رواه البخارى و مسلم)
Ada dua kalimat yang disenangi oleh
Allah, ringan diucapkan dan memperberat timbangan, yaitu kaimat “subhana allah
wa bi hamdih subhana allah il’adzim”.
Hadist ini diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim [66]dengan
sanad Muhammad bin Fudhail, Abu Zur’ah ‘Umarah, Abu Zur’ah dan Abu Hurairah.
Imam Tirmidzi menyatakan bahwa hadist ini nadalah gharib, karena hanya
rawi-rawi terbutlah yang meriwayatkannya, tidak ada rawi lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
hadist
mutawatir adalah hadist yang diriwaytkan oleh periwayat yang banyak pada
setiap tingkatan atau setiap generasi sanadnya yang menurut adat kebiasaan
tidak mungkin mereka sepakat berdusta untuk membuat hadist yang besangkutan.
Dan hadist mutawatir di bagi menjadi tiga, yaitu hadist mutwatir lafdzi,
hadist mutawatir ma’nawi, dan hadist mutwatir amali.
2.
hadist
ahad secara singkat, yakni hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadist muatawatir. Hadist selain hadist mutawatir, atau hadist yang
sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber nya (nabi) tetapi
kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak tidak smapai kepada qath’i
dan yakin.
3.
hadist
masyur adala hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari
setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti
lebih lanjut, sebenarnya haist masyur ini tidak semuanya berkualitas shaih,
karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin keshahihannya kecuali
disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya shaih. Dengan
demikian haist masyur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas shahih, hasan
dan dhaif.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
REFERENSI BUKU
Abdurrahman,
Muhammad dan Sumarna, Erlan. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Masrus, Ali. TEORI COMMON LINKG.H.A
JUYNBOLL Melacak Akar Kesejarahan Hadist Nabi.
Yogyakarta: PT LKS Yogyakarta, 2007.
Alawi,
Muhammad. Ilmu
Ushul Hadist. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006.
Suparta, Mundzir.
Ilmu
Hadis. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2011.
Zuhri, Ahmad. ULUMUL HADIS. Medan: CV. Manhaji, 2014.
Majid Khon,
Abdul. Ulumul Hadis. Jakarta:
AMZAH, 2012.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-MALIKI PRESS Anggota
IKAPI, 2010.
Solahudin, M
Agus dan Suyadi, Agus. Ulumul Hadist. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015.
[1] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadist (Jakarta: AMZAH, 2012), 2.
[2] Muhammad Alawi
AL-Maliki, Ilmu Ushul Hadist (Yogyakarta: PUSTAKAPELAJAR, 2006), 95.
[3] M. Abdurrahman
dan Erlan Sumarna, Metode Kritik
Hadis (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), 199.
[4] Isim Fa’il
Musytaq adalah Isim pelaku yang melakukan pekerjaan.
[5] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI, 2010), 88.
[6] Sharih
ad-dalalah adalah suatu lafadz yang pengungkapannya secara jelas dan tegas
sehingga untuk memahaminya tanpa harus mencari makna yang tersirat.
[7] Ali Mansur,
TEORI COMMON LINKG.H.A JUYNBOOL Melacak Akar Kesejarahan Hadist Nabi
(Yogyakarta: LKS Yogyakarta, 2007), 116.
[8] Thabaqad
adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan.
[9] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 96.
[10] Imam Nawawi
adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadist yang bermazhab
syafi’i.
[11] Muhammad ‘ajaj
Al-Khattib pemikir islam ternama dalam bidang hadist dari Damaskus.
[12] Ahmad zuhri
dkk, ULUMUL HADIS (Medan: CV. Manhaji 2014), 78.
[13] Khabar
Mutawatir berfaedah memberikan ilmu yang pasti yakni keyakinan yang sampai
membuat manusia membenarkannya dengan pembenaran yang tetap
[14]Menurut
Ath-thibi, kata Isnad dan Ilmu Al-isnad mempunyai arti yang sama atau
berdekatan. Ibn jama’ah dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya, ulama
muhaditsin memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama,
yang keduanya dapat di pakai secara bergantian.
[15] Ulama
muthakirin adalah para ulama hadist yang hidup pada abad ke-4 Hijriah diantara
tokoh-tokohnya adalah Imam Al-Hakim, Imam Al-Dar al-Quthni, Imam Ibn Hibban,
Imam al-Thabrani.
[16] Ilmu Dharuri
adalah pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung tanpa memerlukan
penelitian dan dalil.
[17] Tabi’in besar
yang dikenal dengan FUKAHA TUJUH, yaitu: Said ibn Musayyab, Al-qosim ibn
Muhammad Abu BAKar, Urwah bin zubair, Kharijjah, Abu ayyub, Ubaiddilah ibn
utbah, Abu salamah.
[18] Saifuddin
Zuhri, “PREDIKAT HADIST DARI SEGI JUMLAH PERIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA
TERHADAP HADIS AHAD” , DIALOG: Suhuf, vol. 20, No. 1, Mei 2008: 53-65.
[19] Secara
terminologis Istibath adalah daya usaha yang harus diupayakan untuk merumuskan
hukum syara’ berdasarkan al-qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad.
[20] Kitab al-ahzar
al- mutanatsir al-akhbar al-mutanawirah memuat 113 hadist mutanawir dan
terdapat 10 kitab yang disebutkan yaitu ilmu, Thaharah, solat, zakat, puasa,
Haji, Adab, Manaqib, dan hari akhirat.
[21] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 98.
[22] Ahmad zuhri
dkk, ULUMUL HADIS (Medan: CV. Manhaji 2014), 82.
[23] Redaksi dalam
KBBI atau kamus besar indonesia memiliki arti cara atau gaya penyusunan kata
dalam sebua kalimat, seperti sebuah ide yang sama dapat memberi kesan yang
berbeda tergantung redaksinya atau penyampaian ide.
[24] Urutan rawi di
atas adalah Ali Bin Rabi’ah Anas Bin Malik Abu Hurairah Abdullah Bin zubair,
Said bin Ubaid Abdul Aziz Abu Shalih Amit bin Abdullah Ubair, Abdullah Bin
Nashir Ismail Abu Husain Abdul Haris Jami’ Bin Sadam, Muhammad bin Abdullah
Zuhair bin Harb Abu Awanah Abu Muamar Syubah, Muhammad bin Ubaid Musa Abdul
Wahid
[25] Yang dimaksud
dengan sepuluh sahabat adalah: AbuBakar As shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin
Afan, Sa’id bin Malik, Sa’id binaid, dan Ubaidah ibn Jarrah.
[26] Menurut
al-Bazzar hadist tersebut diriwayatkan 40 orang sahabat dan sebagian ulama’
mengatakan bahwa Hadist tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan
susunan redaksi dan makna yang sama.
[27] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 102.
[28] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI, 2010), 90.
[29] Imam Suyuthi
dalam kitabnya yang berjudul Khusn ak-Muhadlarah menyebutkan bahwa ia
mendapatkan ijazah dari setiap setiap guru yang yang didatanginya, yaitu
mencapai 150 ijazah dari 150 guru. Di antara gutu-gurunya tersebut, beliau
berguru pada AL-Bulqini sampai wafatnya, juga belajar hadist pada Syaikhul
islam Taqiyyudin Al-Manaawi.
[30] Konon Nabi SAW
tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa
istisqo’.
[31] Abu Musa
al-AS-asy’ari yang bernama asli Abdullah bin QAIS bin Sulaiman al-Asy’ari,
adalah seorang sahbat nabi Muhammad yang masuk islam di Mekkah sebelum
terjadinya Hijrah.
[32] Hadist ini
tidak kurang dari 30 hadist dengan redaksi yang berbeda-beda.
[33] Secara
Kuantitatif penelitian yang sistematis dan fenomena serta hubungan-hubungannya.
[34] Ta’rif Ijma’
adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya akan
melahirkan suatu pengetahuan yang disepakati para ulama’.
[35]Suatu
hadist Qathi Al-wurud dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari
allah (al-qur’an) atau Rasullulah (hadist Mutawatir). Al-qur’an seluruhnya
qath’i dilihat dari segi wurudnya, akan tetapi tidak semua hadist qath’i
wurudnya.
[36] Khafid ibn
hajar Al-asqolani, Bulughul Marom (Surabaya: Darul ilmu), 31.
[37] Plural
mempunyai makna beragam.
[38] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI, 2010), 91.
[39] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 107.
[40] Sanad adalah
silsilah merantai orang-orang yang menghubungkan kepada matan Hadist.
[41] Zhanni adalah
dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap satu masalah. Artinya
ketika ada satu masalah yang memerlukan ketetapan hukum syariat, sedangkan
dalil yang ada baik Al-Qur’an maupun sunnah tidak menunjukkan kepastiannya,
ataupun tidak ada dalil-dalil sama sekai, maka muncullah perbedaan pendapat
mengenai status hukum itu. Dan perbedaan ini sudah dimulai semenja generasi
sahabat dimana setelah wafatnya Nabi Saw dan Al-Qur’an pun sudah sempurna
diturunkan. Sedangkan permasalahan terus bermunculan. Salah satu cara
mengatasinya adalah dengan cara ijtihad.
[42] Muhammad Abu Zahrah
pernah menjabat sebagai anggota Akademi Penelitian Islam al-Azhar, Kairo,
Mesir.
[43] Jumhur ulama’
adalah pendapat mayoritas ulama yang terdiri dari para pakar hukum islam yang
bisa di pertanggungjawabkan ke mujtahidannya dan merupakan ulama yang jujur dan
tidak pernah berdusta.
[44] Adapun
syarat-syarat penerimaan hadist menjadi hadist yang maqbul berkaitan dengan
sanadnya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari
segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat. Hadist maqbul adalah
hadist yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama’ sepakat bahwa hadist
shahih dan hasan sebagai hujjah.
[45] Abu Hanifah
merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah sahabat nabi, karena dia pernah
bertemu dengan salah seorang sahabat nabi Saw bernama Anas bin Malik dan
beberapa peserta Perang Badar yang dimuliakan Allah SWT yang merupakan generasi
terbaik islam, dan meriwayatkan hadist darinya serta sahabat Nabi SAW lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqih
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (thaharah),
shalat, dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’ sesudahnya
seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Imam Bukhori.
[46] Tsiqah adalah
orang yang baik agamanya, adil yang ditafsiri sebagai orang muslim, baligh,
berakal dan terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan kerusakan moral.
[47] Amal ahli
madinah adalah perkataan atau perbuatan yang disepakati oleh para penduduk
Madinah dalam lingkungan awal kurun ketiga hijriah yang mempunyai kaitan dengan
para sahabat pada zaman rasullulah saw, amal mahmul madinah disebut juga ijma’
ahlul madinah. Amal ahli madinah menurut Imam Malik bisa dijadikan hujjah
sekalipun hanya dilakukan oleh mayoritas dan tidak mencapai tingkat ijma’.
Karena Madinah adalah tempat hijrah Nabi Muhammad Saw, disitu pula ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan, sehingga mereka yang bermukim di Madinah menyaksikan
turunnya wahyu dan mengikuti sunnah Rasullulah saw. Sehingga amalan penduduk
Madinah menurut Imam Malik merupakan perihal cerminan dari sunnah Rasullulah
Saw. Oeleh karena itu posisi amal penduduk Madinah ini Menurutnya lebih kuat
dibanding dengan Hadist ahad. Sebagai contoh, menurut Imam Malik zakat hasil
pertanian seperti sayur-sayuran dan buah-buahan selain yang dijelaskan oleh
Nabi Muhammad saw. Adalah tidak wajib, jika sayur-sayuran atau buah-buahan
tersebut dijual maka uang hasil penjualannya baru wajib dizakatkan apabila
berada di tangan pemiliknya selama satu taun, karena begitulah praktek penduduk
Madinah. Dalam hal ini menolak keumuman hadist Rasullulah saw yang diriwayatkan
dari Salim ibn ‘abdullah dari ayahnya. Dalam kasus ini Imam Malik tidak
sependapat dengan Abu Hanifah yang mengatakan bawa Hadist tersebut mencakup
seluruh jenis tanaman. Menurut Imam Malik hadist di atas hanya berlaku pada
jenis buah-buahan yang telah dijelaskan oleh Rasullulah Saw, seperti kurma,
anggur dan gandum sebagai makanan pokok sebab seperti itulah yang didapati
dalam praktek penduduk Madinah.
[48] Aliran
qodariah berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri.
[49] Kitab
AL-Muwaththa merupakan karya monumental Imam Malik dalam bidang hadist. Imam
malik mengumpulkan banyak sekali bahan dan memilih beberapa ribu haist yang
dituangkan dalam kitabnya tersebut. Ia selalu merevisi karya ini dan akibatnya
mengurangi jumlah isinya. Karena itu, kitab ini memiliki lebih dari 80 versi.
Lima belas diantaranya lebih terkenal, dan kini hanya tinggal versi Yahya yang
bisa diperoleh dalam bentuk orisinil, lengkap, dan tercetak. Versi ini berisi
hadist Nabi, atsar sahabat, dan atsar ulama’ kemudian. Jumlah total hadist yang
terdapat dalam kitab Al-Muwathha’ adalah 1726, yang terdiri dari600 hadist marfu’
, 613 hadist mauquf, 285 hadist maqtu, dan 28 hadist mursal.
[50] Muh Zuhri, Hadist
Nabi (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997), 87.
[51] Agus Solahudin
dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2015), 134.
[52] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 110.
[53] Menurut ibnu
Hajar AL-Asqolani, Buhkari menulis hadist sebanyak 9.082 hadist dala karya
monumentalnya, AL-jami’ Ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhori.
[54] Untuk
membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan, harus menegtahui batasan dari
kedua hadist tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadist hasan di sandang
oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya.
[55] Hadist para
Muhaditsin (ulama ahli hadist) berbeda pendapat di dalam mendefinisikan
al-hadist. Hal itu karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek
peninjauan mereka masing-masing.
[56] Agus Solahudin
dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2015), 140.
[57] Imam
At-thabrani mempunyai karta sebuah kitab yang berjudul Mu’jamul Kabir yang
terdiri dari 12 jilid dan merupakan kitab yang berbentuk ensiklopedis, tidak
hanya memuat hadist Nabi, melainkan juga memuat beberapa informasi sejarah dan
secara keseluruhan memuat 60.000 hadist, karenanya, Ibnu Dihiyah mengatakan
bahwa kitab ini merupakan karya ensiklopedis hadist terbesar di dunia. Ibnu
abbas merupakan sahabat Nabi yang berpengetahuan luas, dan banyak hadist sahih
yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta dia juga menurunkan seluruh
Khalifah dari Bani Abbasiyah.
[58] Imam ahmad bin
Hanbal tela menyusun sebuah musnad, yang di dalamnya terdpat hadist-hadist yang
tidak ditemukan oleh orang lain. Musnad Ahmad bin Hanbal ini terdiri dari 6
jilid yang memuad tidak kurang dari 30.000-40.000 hadist yang telah ia seleksi
dari 75.000 hadist. Imam An-Nasa’i menerima hadist dari sa’ad, ishaq bin
rawahih, dan ulama-ulama lainnya dari kalangan tokoh ulama’ Khurasan, Hijaz,
Irak, Mesir, Syam, dan jazirah Arab. Imam An-Nasaa’i termasuk di antara ulama
yang ahli di bidang hadist dan karena ketinggian sanad hadistnya.
[59] Agus Solahudin
dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2015), 136.
[60] Mutafaq’alaih
adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[61] Anas bin Malik
berasal dari Bani an-Najjar dan merupakan anak dari Ummu Sulaim. Sejak kecil
dia melayani keperluan Nabi Muhammmad Saw, sehingga selalu bersama Rasulullah.
Dengan selalu bersama Rasulullah, dia menghafal banyak hadist.
[62] Hadist gharib
dibai menjadi dua yaitu hadist muthlaq yang berpangkal pada tempat ashlus
sanad, yakni tabiin bukan sahabat dan gharib nisby adalah apabila penyendirian
itu menegnai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Dan cara
menetapkan ke-gharib-an hadist dapat diketahui dengan memeriksa pada
kitab-kitab hadist , seperti jami’ dan kitab Musnad, apakah hadist tersebut
mempunyai sanad lain yang menjadi mutobi’ (hadist yang mengikuti periwayatan
rawi) dan atau matan lain yang menjadi syahid (meriwayatkan sebuah hadist lain
dengan sesuai maknanya). Cara tersebut di namakan i’tibar.
[63] Tabi’ut
Tabi’in adalah generasi setelah Tabi’in, artinya pengikut Tabi’in, adalah orang
islam teman sepergaulan dengan para Tab’in dan tidak mengalami masa hidup
sahabat Nabi. Tabi’ut Tabi’in adalah di antara tiga kurun generasi terbaik
dalam sejarah islam, setelah Tabi’in dan sahabat. Thabi’ut Tabi’in di sebut
juga murid Tabi’in.
[64] Mundzir
Suparta, ILMU HADIS (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 118.
[65] Abu dawud
adalah seorang perawi hadist yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadist lalu
memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu DAwud.
[66] Adapun nama
Al-Bukhori dan Muslim, yang di tulis pada akhir matan disebut rawi (orang yang
meriwayatkan hadist). Karena keduanya (masing-masing) membukukan hadist, mereka
disebut mudawwin (yang mebukukan hadist)
Posting Komentar
0 Komentar